TENGGARONG. Di jantung Kota Raja Tenggarong, suasana sakral menyelimuti Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Menjelang pesta budaya Erau Adat Kutai 2025, sebuah tradisi tua kembali dihidupkan: ritual Beluluh Awal Sultan, prosesi sakral yang menandai dibukanya seluruh rangkaian acara.
Ritual ini dipimpin langsung oleh Sultan Kutai ke-21, Aji Muhammad Arifin. Di ruang utama kedaton, sebuah balai bambu kuning dengan 41 tiang tegak berdiri, dilapisi kain kuning sebagai simbol kejernihan dan kekuatan. Di sekitarnya, perlengkapan ritual disiapkan lengkap dengan sesajen, menambah kesyahduan prosesi.
Kerabat Kesultanan, Pangeran Noto Negoro, menjelaskan bahwa Beluluh Awal merupakan tahap penting sebelum didirikannya Tiang Ayu, salah satu inti dalam Erau. Kata beluluh berasal dari “buluh” dan “luluh”, yang dimaknai sebagai pembersihan diri.
“Makna dari prosesi ini adalah membersihkan diri seorang sultan agar terlepas dari energi negatif, sehingga hadir energi positif. Dengan demikian, aura sultan semakin kuat dan memberi pengaruh penting dalam seluruh rangkaian prosesi Erau,” jelasnya.
Beluluh tidak hanya dilaksanakan sekali. Selama perayaan Erau yang berlangsung pada 21 hingga 28 September 2025, ritual ini digelar setiap hari setelah salat Asar atau menjelang matahari terbenam. Bagi masyarakat Kutai, prosesi ini diyakini bukan sekadar rutinitas adat, melainkan warisan luhur yang harus dijaga.
Lebih dari sekadar upacara sakral, Beluluh juga menyimpan pesan mendalam. Dalam undang-undang adat, terkandung empat nilai utama yang diwariskan untuk generasi penerus: menjunjung adat, menjaga persatuan, melestarikan budaya, dan menguatkan kearifan lokal. Nilai-nilai ini menjadi fondasi kuat bagi anak muda dan para pemimpin di Kutai Kartanegara.
Dengan nuansa khidmat dan penuh makna, Beluluh Awal Sultan tak hanya membuka rangkaian Erau 2025, tetapi juga menegaskan bahwa budaya adalah napas yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat Kutai.
PENULIS: Fairuzzabady