TENGGARONG. Kamis (18/9/2025) malam di Tenggarong kali ini terasa berbeda. Di luar keraton Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, tabuhan gendang dan gong berpadu dengan lantunan mantra, mengiringi prosesi sakral Merangin. Ritual ini menjadi penanda bahwa pesta adat dan budaya Erau akan segera digelar.
Bagi masyarakat Kutai, Merangin dimaknai sebagai awal perjalanan para belian, pelaksana upacara adat dalam menjalankan titah Sultan. Rombongan belian mendatangi rumah-rumah warga yang sebelumnya telah diundang, sebagai bentuk laporan, ajakan, sekaligus penghormatan, baik kepada tamu yang hadir secara nyata maupun secara spiritual.
Prosesi dimulai dengan pembacaan mantra oleh pimpinan upacara. Tujuh belian laki dan tujuh belian bini kemudian mengelilingi binyawan yang berdiri di tengah bangunan. Beras kuning ditaburkan sebagai simbol dimulainya ritual, sementara alunan gendang dan gong menambah suasana magis.
Dalam puncak prosesi, para belian laki bergerak berputar mengelilingi binyawan. Di penghujung ritual, tujuh belian bini menari mengitari binyawan sebanyak tujuh kali, sebuah simbol keharmonisan dan keseimbangan.
Koordinator belian, Sartin, menjelaskan bahwa Merangin dilaksanakan selama tiga malam berturut-turut, mulai dari Merangin Satu, Merangin Dua, hingga Merangin Tiga. Setelah itu, rangkaian dilanjutkan dengan ritual Mengatur Dahar.
“Melalui prosesi ini, kami mengajak semua pihak untuk turut serta dalam Erau, agar merasa dihargai, menghormati tradisi, dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan,” tutur Sartin.
Ia menegaskan, ritual Merangin memiliki makna penting terutama bagi generasi muda.
“Tradisi ini adalah media untuk mengenal sekaligus melestarikan warisan budaya leluhur. Meskipun sakral, ia akan terus hidup sepanjang masa jika dijaga dan diteruskan,” tambahnya.
Merangin bukan hanya sekadar prosesi adat, tetapi juga pesan kebersamaan. Dengan ritual ini, Erau tidak hanya hadir sebagai pesta budaya, melainkan juga ruang spiritual yang menyatukan masyarakat, leluhur, dan generasi penerus dalam ikatan adat yang abadi.
PENULIS: Fairuzzabady