BONTANG. Sebagai negara yang dilalui garis khatulistiwa, Indonesia merupakan kawasan beriklim tropis yang kerap menerima paparan sinar matahari intens sepanjang tahun. Pada tahun 2024 BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) mencatat bahwa suhu rerata Indonesia adalah 27,5°C. Catatan suhu tersebut merupakan yang terpanas terhitung sejak pengamatan BMKG dari tahun 1981. Tren pemanasan global yang konsisten juga berpengaruh dalam hal ini. Tercatat bahwa 2024 merupakan tahun terpanas dengan suhu rata-rata dunia mengalami peningkatan sebesar 1,55°C. Catatan tersebut mengindikasikan bahwa dunia sudah menuju ambang batas kenaikan suhu global yang ditetapkan pada Paris Agreement, yakni tidak lebih dari 1,5°C.
Salah satu bahaya dari peningkatan suhu tersebut adalah paparan sinar ultraviolet (UV). Jika kulit terpapar sinar UV terus menerus tanpa perlindungan, hal itu dapat menyebabkan risiko kesehatan dan kerusakan kulit mulai dari yang akut (cepat) seperti sunburn dan tanning hingga kronis (jangka panjang) seperti kanker kulit dan penuaan dini. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya tersebut adalah dengan menggunakan tabir surya atau sunscreen. Di Indonesia, kesadaraan penggunaan sunscreen kian populer. Hal ini tidak lepas dari maraknya perbincangan secara daring serta diskursus di media sosial mengenai pentingnya penggunaan sunscreen.
Namun, dari semua rekomendasi mengenai produk sunscreen yang beredar di internet, ada satu hal yang sering kali luput dari pertimbangan yakni kandungan tabir surya yang ramah lingkungan. Ramah lingkungan yang dimaksud mencakup formulasi yang aman bagi terumbu karang (reef safe) serta ekosistem laut. Coba periksa komposisi sunscreen yang kalian pakai saat ini. Apakah mengandung bahan-bahan seperti Octocrylene? Atau Octinoxate? Tahu kah kalian, menurut NOAA (National Ocean Service USA), ada sepuluh kandungan kimia dalam chemical sunscreen yang dapat membahayakan terumbu karang dan biota laut lain yakni: Oxybenzone, Benzophenone-1, Benzophenone-8, OD-PABA, 4-Methylbenzylidene camphor, 3-Benzylidene camphor, nano-Titanium dioxide, nano-Zinc oxide, Octinoxate, Octocrylene.
Mungkin banyak dari kalian yang bertanya-tanya seberapa pengaruhnya hal itu? toh, tidak setiap hari kita beraktivitas di laut. Perlu diketahui bahwa sunscreen yang kita pakai tidak terus-terusan menempel pada kulit. Saat membilas tubuh dengan air seperti saat mandi atau cuci muka, kandungan sunscreen yang tadinya menempel pada kulit ikut larut terbawa air. Air tersebut terus mengalir dari saluran pembuangan hingga akhirnya bermuara di lautan dan diserap oleh berbagai biota laut, menumpuk di dalam tubuh mereka hingga menyebabkan kerusakan sistem tubuh bahkan kematian.
Pada terumbu karang, zat berbahaya tersebut mengakibatkan coral bleaching, yakni pemutihan koral yang disebabkan hilangnya alga simbiotik zooxanthellae dari jaringan terumbu karang. Keadaan tersebut akan mengganggu rantai makanan ekosistem. Tak hanya itu, zat-zat berbahaya itu mengganggu pertumbuhan dan fotosintesis alga hijau, mengganggu sistem imun dan reproduksi bulu babi, cacat tubuh pada remis muda, menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan) dan reproduksi ikan serta memunculkan karakteristik ikan betina pada ikan jantan. Adapun penumpukan dan gangguan genetik ini bersifat herediter atau diwariskan pada generasi selanjutnya.
Bak reaksi berantai, peningkatan suhu imbas dari pemanasan global yang dipicu dari aktivitas manusia, diikuti dengan penggunaan sunscreen tak ramah lingkungan, kemudian berakibat pada kerusakan ekosistem laut, pada akhirnya membahayakan manusia lagi. Tentunya hasil tangkapan laut dari ekosistem yang tercemar jika dikonsumsi akan membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, 71% permukaan bumi adalah laut, ya bahkan luas lautan melebihi luas daratan. Dengan luas total sekitar 361,1 juta km persegi, laut memiliki potensi sebagai penghasil protein hewani terbesar bagi lebih dari satu miliar penduduk dunia serta merupakan pengasil oksigen terbesar di dunia. Hal ini tak lepas dari peran Fitoplankton, yakni organisme mikroskopis di laut yang memiliki kemampuan sebagai penyerap CO₂ dan penghasil O₂. Sebanyak 25% hingga 30% emisi karbon dan 90% panas yang dihasilkan emisi tersebut diserap kembali oleh laut salah satunya melalui proses fotosintesis yang dilakukan fitoplankton. Dengan kata lain, laut juga berperan sebagai pengendali iklim global.
Frasa “Laut kita cuma satu” merupakan ungkapan yang mengingatkan betapa pentingnya laut sebagai bagian dari ekosistem global. Lautan biru luas yang membentang adalah satu kesatuan sistem yang berhubungan dengan satu sama lain. Jika terjadi perubahan terhadap satu bagian saja, dampaknya akan berpengaruh ke bagian lain juga. Maka dari itu, pentingnya kesadaran kolektif untuk menjaga kelestarian laut dan mengelola sumber dayanya secara berkelanjutan. Langkah kecil jika dilakukan bersama dapat berdampak besar. Dimulai dari bijak memilih kandungan yang ada dalam sunscreen. Sebagai contoh, beberapa brand sunscreen seperti Anessa dari negara Jepang telah secara vokal berkomitmen dan mengampanyekan menjaga kelestarian bumi melalui inovasi bertajuk SUNstainable dalam produknya yang memiliki formula dan kemasan ramah lingkungan, serta komitmen mengurangi emisi karbon. Kedepannya semoga semakin banyak produsen tabir surya yang memperhatikan isu ini sehingga akses terhadap tabir surya yang ramah lingkungan semakin mudah dijangkau.
Yuk, mari bersama mengedukasi diri dan sekitar terkait kandungan tak ramah lingkungan dalam sunscreen serta menghindari penggunannya demi melestarikan laut dan mengurangi pemicu pemanasan global.
Penulis : Restorasea/Dzikra
Referensi
Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Jakarta. “Catatan Iklim Dan Kualitas Udara Indonesia 2024.” 29 Mar. 2025.
Elungan, Valenia. “Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Kesadaran Penggunaan Tabir Surya Pada Trainer Peselancar Di Pantai Kuta Bali Tahun 2025.” Obat: Jurnal Riset Ilmu Farmasi Dan Kesehatan, vol. 3, no. 2, 2025, https://doi.org/10.61132/obat.v3i2.
NOAA US. “Sunscreen Chemicals and Coral Reefs.” Noaa.gov, 17 Aug. 2022, oceanservice.noaa.gov/news/sunscreen-corals.html.
Suwito, and Nelya Eka Susanti. Geografi Kelautan. Kota Malang, Penerbit Ediide Infografika, 2017, repository.unikama.ac.id/4103/1/B1.%20Buku%20Geografi%20Kelautan.pdf.
United Nations. “The Ocean — the World’s Greatest Ally Against Climate Change.” United Nations, 2024, www.un.org/en/climatechange/science/climate-issues/ocean.