SANGATTA. Ruang Meranti Kantor Bupati Kutai Timur (Kutim) pada Senin (28/7/2025) pagi, tidak hanya menjadi saksi peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ke-41, tetapi juga arena lahirnya komitmen bersama. Yaitu melindungi anak dari ancaman zaman sekaligus menyiapkan mereka menjadi generasi emas Indonesia 2045. Di tengah ratusan peserta yang terdiri atas pelajar, guru, orang tua, dan tokoh masyarakat, gema semangat perubahan paradigma bergema kuat.
Mewakili Bupati Kutim, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Kabupaten Poniso Suryo Rengono, menekankan bahwa anak-anak adalah tunas bangsa yang tak hanya perlu dijaga tumbuh-kembangnya, tetapi juga dilindungi. Dari kekerasan, eksploitasi digital, hingga praktik perkawinan anak yang masih menghantui berbagai daerah.
“Kita menginginkan perubahan paradigma untuk menciptakan anak-anak berkarakter, karena dari merekalah lahir pemimpin-pemimpin hebat yang menjadi kebanggaan bangsa,” ujar Poniso lugas.
Dalam acara yang digelar oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kutim ini, edukasi dan inspirasi menyatu dalam berbagai rangkaian kegiatan. Mulai dari lomba kreatif anak-anak hingga seminar tematik yang menyoroti tantangan kontemporer bagi generasi muda.
Psikolog Fuffahana SPsi tampil dalam sesi bertajuk “Anak Cerdas Digital: Aman dan Positif di Dunia Maya.” Ia mengingatkan bahwa ruang digital yang tak berbatas menyimpan ancaman nyata jika tidak dibarengi literasi dan pengawasan.
“Orang tua dan guru perlu mengajarkan bukan hanya cara menggunakan teknologi, tetapi juga etika dalam menggunakannya,” ujar Fuffahana. “Anak-anak harus diajak mengenali risiko seperti cyberbullying, konten pornografi, hingga kecanduan game online,” tambahnya.
Sementara itu, dr Agung Wiratmoko SpOG, menyoroti isu krusial tentang praktik perkawinan anak. Dalam materinya “Perkawinan Anak, Wujudkan Impian Anak Indonesia,” ia memaparkan risiko medis dan sosial yang mengintai anak-anak yang menikah di usia dini.
“Secara kesehatan, anak perempuan yang menikah terlalu muda rentan mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan. Secara sosial, mereka berisiko putus sekolah dan terperangkap dalam kemiskinan,” tegas dr Agung.
Kutim, dengan berbagai programnya, menolak menjadikan HAN sekadar seremoni. Acara ini menjadi pernyataan publik bahwa hak anak harus dijamin baik di dunia nyata maupun dunia maya. Butuh sinergi semua pihak, keluarga, sekolah, lembaga pemerintah, hingga komunitas lokal, untuk membentuk generasi yang sehat, kritis, dan berdaya saing global.
Dengan semangat itu, Kutim menunjukkan bahwa langkah kecil di daerah bisa menjadi bagian penting dari langkah besar Indonesia menuju 2045. Anak-anak hari ini akan menjadi penggerak perubahan esok hari. (kopi9/kopi4/kopi3)
Sumber: Pro Kutim