Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, pada saat melakukan konferensi pers (FOTO: Ist.)
BONTANG. Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, memberikan penjelasan tegas terkait polemik batas wilayah Dusun Sidrap pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 yang melibatkan Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Penjelasan ini disampaikan untuk merespons pernyataan Ketua DPRD Kutai Timur yang meminta Pemkot Bontang mencabut Rukun Tetangga (RT) di Sidrap dan menuntaskan apa yang disebut sebagai “Dosa Administrasi”.
Agus Haris menekankan bahwa putusan MK tidak secara eksplisit menyatakan Dusun Sidrap sah sebagai bagian dari Kutai Timur. Menurutnya, MK dalam pertimbangan hukum maupun amar putusannya tidak memiliki kewenangan menentukan titik koordinat, melainkan mengembalikan persoalan peninjauan batas wilayah ke Pembentuk Undang-Undang (DPR RI dan Pemerintah) melalui mekanisme Open Legal Policy. MK memerintahkan pembentuk UU untuk segera meninjau batas daerah yang dimohonkan (Putusan hal. 109, 110, Pertimbangan Hukum 3.15.3 dan 3.15.4).
Menanggapi permintaan pencabutan 7 RT di Dusun Sidrap, Agus Haris membantah keras, menegaskan bahwa pembentukan RT tersebut sah secara hukum.
“Pembentukan 7 RT yang ada di Dusun Sidrap dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 tahun 2002 tentang Pembentukan Kelurahan Kanaan, Gunung Telihan, Guntung, Api-Api, Gunung Elai dan Tanjung Laut Indah, jauh sebelum keluarnya Permendagri Nomor 25 tahun 2005,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa Kelurahan Guntung tidak akan terbentuk tanpa masuknya 7 RT di Sidrap sebagai bagian dari wilayah tersebut, sehingga keberadaan RT itu sah.
Terkait tudingan “Dosa Administrasi” pada dokumen kependudukan, Wakil Wali Kota Bontang ini menjelaskan bahwa administrasi kependudukan (KTP Siak) masyarakat Sidrap sudah ada jauh sebelum Bontang menjadi Kota dan sebelum terbitnya Permendagri 2005.
“Administrasi kependudukan masyarakat Sidrap Sah secara hukum dan mereka warga Bontang yang hak-haknya wajib dipenuhi karena dijamin oleh konstitusi,” ujarnya.
Ia juga menyinggung terhentinya pelayanan sosial pada 2013 yang disebut karena rekomendasi BPK, namun ia sendiri mengaku tidak pernah melihat rekomendasi tersebut dan pihak BPK pun tidak dapat menunjukkannya. Agus Haris mengakui rencana Pemkab Kutai Timur untuk menertibkan administrasi kependudukan setelah putusan MK sebagai hak mereka. Namun, ia memberikan peringatan keras.
“Kami ingatkan bahwa jangan melakukan pemaksaan dan intimidasi kepada masyarakat untuk memperbaharui administrasi kependudukan mereka, karena itu adalah tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara yang dijamin oleh konstitusi,” pesannya.
Ia menekankan bahwa warga negara berhak untuk tinggal dan memilih administrasi kependudukan di mana saja di republik ini. Meskipun Putusan MK bersifat final dan mengikat (Erga Omnes), Agus Haris memastikan bahwa hal tersebut tidak menutup hak masyarakat untuk memperjuangkan keadilan.
“Langkah masyarakat Sidrap saat ini untuk melakukan upaya ke DPR RI dan juga ke Pemerintah dalam hal ini Mendagri dan bahkan mau mengajukan uji materi kembali sangat terbuka dan dilindungi oleh UU,” jelasnya.
Hal itu disampaikannya dengan merujuk pada Pasal 60 ayat UU No. 8 tahun 2011 tentang MK, yang memungkinkan pengujian kembali jika dasar pengujian dalam UUD 1945 berbeda atau terdapat alasan pemohon yang berbeda. Agus Haris menutup penjelasannya dengan mengimbau masyarakat untuk tetap berjuang dengan mengedepankan hukum dan etika sebagai wujud dari Low Abiding Citizen.