TENGGARONG. Diiringi tabuhan gendang dan alunan gamelan, rombongan kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura tampak berjalan khidmat membawa sesajian. Mereka menuju tiga titik penting: Buntut Benua, Tengah Benua, dan Kepala Benua. Inilah prosesi sakral Menjamu Benua, sebuah ritual adat yang menandai pembukaan Erau 2025 di Kota Tenggarong.
Menjamu Benua bukan sekadar tradisi. Bagi masyarakat Kutai, ritual ini merupakan bentuk pemberitahuan resmi dari Sultan bahwa waktu pelaksanaan Erau telah tiba. Di saat yang sama, prosesi ini menjadi doa bersama, memohon keselamatan dan kelancaran agar seluruh rangkaian perayaan adat berlangsung tanpa hambatan.
Dalam ritual, tampak tujuh belian bini, tujuh belian laki, tujuh pangkon bini, dan tujuh pangkon laki, masing-masing membawa perlengkapan ritual. Mereka mengiringi pakaian Sultan yang dibawa sebagai simbol kehadiran beliau secara spiritual. Sesajian yang dipersembahkan pun beragam: mulai dari 41 jenis kue pasar, nasi tambak, nasi ragi, telur, ayam panggang, air minum, hingga peduduk, semuanya disiapkan dengan penuh makna dan simbol.
Koordinator belian, Sartin, menegaskan bahwa jamuan ini adalah tindak lanjut dari undangan yang sebelumnya disampaikan kepada para tamu tak kasat mata.
“Jamuannya sebagai penghormatan, agar para tamu tak kasat mata merasa dihargai dan tidak mengganggu jalannya acara,” terangnya.
Ia juga menekankan pentingnya dukungan pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, untuk memastikan adanya regenerasi pelaku ritual sehingga tradisi sakral ini tetap lestari. Sartin pun mengimbau masyarakat dan pengunjung untuk menjaga ketertiban serta mematuhi aturan demi kelancaran seluruh rangkaian Erau.
Bagi masyarakat Kutai, Menjamu Benua lebih dari sekadar seremoni adat. Ia adalah warisan spiritual yang menghubungkan dunia nyata dengan alam gaib, sekaligus simbol doa agar pesta budaya Erau 2025 berjalan aman, lancar, dan penuh berkah.
PENULIS: Fairuzzabady